Semua para
sahabat yang mampu untuk hijrah, maka wajib bagi mereka berhijrah. Yang lemah
dan yang kuat, yang miskin dan yang kaya, laki-laki maupun wanita, dari
kalangan merdeka atau hamba sahaya, semua menyambut perintah Allah Ta’ala.
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan
malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat
bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab: “Adalah kami
orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata: “Bukankah
bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. Orang-orang
itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali,
kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang
tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka
itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun. Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di
muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa
keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya,
kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka
sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa: 97-100).
Hijrah Bukan
Sekedar Berpindah
Saat ini,
sebagian umat Islam, ketika mendengar kata hijrah atau peristiwa hijrah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dari Mekah ke Madinah, menganggapnya sebagai suatu
perpindahan biasa, layaknya migrasi penduduk dengan segala kerepotannya.
Padahal tidaklah semudah itu. Ini adalah perjuangan yang besar. Bentuk
perlawanan terhadap kaum musyrikin Mekah bahkan Jazirah Arab secara umum.
Kehilangan nyawa sebuah resiko yang begitu terpapar di depan mata Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Hijrah
bukanlah melarikan diri. Hijrah adalah persiapan membekali diri untuk kehidupan
akhirat. Karena itulah, Allah Ta’ala berfirman,
“Dan orang-orang yang berhijrah di jalan
Allah, kemudian mereka di bunuh atau mati, benar-benar Allah akan memberikan
kepada mereka rezeki yang baik (surga). Dan sesungguhnya Allah adalah sebaik-baik
pemberi rezeki. Sesungguhnya Allah akan memasukkan mereka ke dalam suatu tempat
(surga) yang mereka menyukainya. Dan sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi
Maha Penyantun.” (QS. Al-Hajj: 58-59).
Ditambah
lagi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam barulah berhijrah tatkala semua
sahabatnya telah berangkat menuju Madinah. Hal ini semakin menguatkan bahwa
hijrah bukanlah bentuk melarikan diri. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
jauh lebih mementingkan keselamatan dan keamanan umatnya dibanding keselamatan
dirinya. Inilah jiwa seorang pemimpin. Seorang nahkoda bukanlah orang yang
pertama meninggalkan kapal saat ia akan karam. Ia akan menjadi yang terakhir
keluar setelah memastikan awak dan penumpangnya selamat terlebih dahulu.
Tidaklah tersisa di Mekah kecuali Rasulullah, Abu Bakar, dan Ali bin Abi Thalib
sebagai orang-orang yang paling akhir menempuh perjalanan.
Ada beberapa
hal yang bisa dicermati dari peristiwa hijrah:
Pertama, hijrahnya umat Islam secara
menyeluruh terjadi setelah pintu dakwah sudah tertutup di Mekah.
Hijrah ke
Madinah bukanlah hijrah yang pertama dialami umat Islam. Sebelumnya sebagian
sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menempuh dua kali
hijrah ke negeri Habasyah. Kesempatan untuk berdakwah di Mekah begitu kecil
atau bahkan tertutup. Mengapa tertutup? Karena orang-orang kafir Quraisy
berencana untuk membunuh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
setelah wafatnya paman beliau, Abu Thalib, tiga tahun sebelum hijrah. Saat
itulah, strategi hijrah mulai disusun oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Sejak mula,
dakwah di Mekah memang sudah sulit. Namun Allah Ta’ala tidak
memerintahkan Rasul-Nya untuk berhijrah. Hingga akhirnya pintu tersebut mulai
dirasa begitu rapat, barulah Allah perintahkan Rasul-Nya dan umat Islam untuk
berhijrah. Dari sini kita bisa mengambil pelajaran yang begitu mendalam, ketika
pintu dakwah masih terbuka walaupun dirasa sulit, maka kita hendaknya berusaha
mengajak orang-orang kepada kebenaran.
Kedua, saat seluruh umat Islam melakukan
hijrah, maka Madinah yang dipilih menjadi tujuan bukan Habasyah.
Kota tujuan
hijrah bisa saja bukan Kota Madinah jika Bani Syaiban atau Bani Hanifah atau
Bani Amir beriman. Namun Allah Ta’ala menginginkan Madinah seabgai
tempat hijrah Nabi-Nya. Kultur masyarakat Madinah yang merupakan bangsa Arab,
tidak jauh berbeda dengan masyarakat Mekah sehingga para sahabat tidak begitu
kesulitan untuk beradaptasi.
Jaminan
keamanan di Madinah pun lebih besar dibandingkan di Habasyah. Di Habasyah,
hanya An-Najasyi yang beriman, jika ia wafat, maka keselamatan kaum muslimin
kembali terancam. Selain itu, terbentuknya negara Islam lebih besar peluangnya
di Madinah dibanding Habasyah.
Ketiga, umat Islam diperintahkan menuju
tempat yang sama untuk berhijrah.
Dalam
syariat hijrah kali ini. Komunitas umat Islam Mekah diperintahkan menuju daerah
yang satu bukan dibebaskan menuju daerah manapun yang mereka inginkan. Banyak
sekali faidah dari hal ini. Di antaranya kebersamaan dan kekeluargaan tetap
terjaga. Keselataman lebih terpelihara dibandikan satu orang menuju satu negeri
lainnya. Lebih mudah beradaptasi. Keimanan juga terjaga dengan berkumpulnya
mereka dengan orang-orang beriman lainnya. Dll.
Penutup
Inilah
sekelumit catatan yang melatar-belakangi hijrahnya Nabi dan para sahabatnya
dari Mekah ke Madinah. Sebuah tempat yang belum dikunjungi oleh para sahabat.
Negeri yang tidak mereka kenal tabiat penduduknya. Sebuah tempat dimana
terdapat komunitas besar Yahudi yang juga belum pernah mereka jumpai. Yang
mereka tahu tentang kaum itu hanyalah dari wahyu, bahwa mereka adalah kelompok
yang jelek, yang suka menyelisihi para nabi dan rasul Allah. Dan di Madinah
yang masih bernama Yatsrib itu pula Yahudi menguasai ekonomi masyarakatnya.
Selain itu,
penting kita memahami bahwa setelah Nabi SAW hijrah, maka seluruh penduduk
madinah baik kaum muhajirin dan anshor menyerahkan segala urusan mereka yang
berkaitan dengan kehidupan sosial dan kemasyarakatan di madinah kepada Nabi
Muhammad SAW. Dan ini menunjukan bahwasanya Nabi Muhammad SAW secara real di
madinah telah diangkat menjadi penentu segala keputusan dari
persoalan-persoalan yang terjadi di madinah, sehingga posisi nabi Muhammad SAW
ketika di madinah selain sebagai Nabi dan Rosul, juga sebagai kepala Negara. Dan
ini sangat mudah dipahami bagi orang-orang yang menelaah siroh nabawiyah secara
mendalam.
Sumber:
islamstory.com
(dengan
sedikit tambahan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar