KH. Hafidz Abdurrahman
Haji adalah panggilan Allah. Begitulah yang Allah Subhanahu Wata'ala nyatakan sendiri dalam al-Qur'an, surat al-Hajj: 27.
"Kumandangkanlah seruan haji kepada umat manusia, maka mereka pun akan
datang kepadamu, baik dengan berjalan kaki, atau dengan mengendarai
tunggangan yang kurus, datang dari tiap pelosok yang nuh jauh."
Dalam kitab-kitab Tafsir dituturkan, Nabi Ibrahim 'alaihissalam pun
kemudian naik di atas Jabal Abi Qubais, dari atas gunung tinggi yang
lerengnya menyambung ke bukit Shafa itu, beliau laksanakan perintah
Allah. Beliau berkata, "Wahai manusia, rumah Allah telah dibangun, dan
diwajibkan kepada kalian untuk menunaikan haji, maka berhajilah kalian."
Maka, mereka pun menjawab seruan Nabi Ibrahim itu dengan berdatangan ke
Makkah, sambil mengumandangkan talbiah, "Laibaika-Llahumma Labaik,
Labbaika la syarika laka Labbaik, inna al-hamda wa an-ni'mata laka wa
al-mulk, la syarika laka."
Konon yang memenuhi seruan Nabi
Ibrahim 'alaihisalam pertama kali adalah penduduk Yaman, yang jarak
tempuhnya dengan Makkah, kurang lebih 1,100 km. Waktu yang mereka
butuhkan pun kurang lebih selama dua pekan. Nabi Muhammad salla-Llahu
'alaihi wa sallam pun memenuhi panggilan Allah ini saat Haji Wada'
dengan naik tunggangan, kadang berjalan kaki, dari Madinah ke Makkah
kurang lebih 8 hari. Bahkan, cucu Nabi, Sayyidina Hasan radhiya-Llahu
'anhu menunaikannya dengan berjalan kaki, kurang lebih sebanyak 23 kali.
Maka, haji bukan hanya soal menunaikan kewajiban yang diserukan
oleh Allah, bagi yang mampu, tetapi haji juga merupakan panggilan Allah
yang hanya bisa diwujudkan oleh orang-orang Mukmin yang mempunyai
keyakinan kuat kepada Dzat yang memberi panggilan. Kemampuan orang dalam
menunaikan kewajiban ini sangat relatif, karena ada yang mampu secara
riil, dan ada yang tidak mampu tapi dengan berbagai wasilah akhirnya
menjadi mampu, dan bisa berangkat ke tanah suci.
Sebaliknya, ada
yang tampak mampu, tetapi tidak mau memenuhi panggilan ini. Ini adalah
masalah kedua, yaitu keyakinan. Justru inilah yang paling penting, dan
faktor keyakinan inilah yang paling menentukan. Jika faktor keyakinan
yang ada pada diri seseorang ini lemah, maka dorongan dan semangatnya
untuk menunaikan kewajiban ini juga lemah. Sebaliknya, jika keyakinannya
kuat, maka dorongan dan semangatnya untuk menunaikan kewajiban ini pun
kuat. Karena itu, tidak jarang Allah kemudian berikan jalan kepadanya
untuk sampai ke rumah-Nya.
Melonjaknya jumlah calon jamaah haji
reguler, hingga daftar tunggunya mencapai 20-25 tahun menunjukkan adanya
semangat dan dorongan yang kuat untuk menunaikan kewajiban ini. Meski
terkadang jalannya salah, baik dari aspek hukum maupun administrasi.
Kasus calon jamaah Indonesia yang tertangkap di Filipina juga
menggambarkan realitas ini. Belum lagi jamaah haji yang berangkat dengan
visa haji, tetapi tidak menggunakan jalur pemerintah, yang biasa
disebut Furada. Atau, haji dengan visa Umal dan Ziara, yang tentu tidak
sedikit biayanya.
Semuanya itu adalah gambaran, betapa haji
bukan sekedar kewajiban, tetapi panggilan suci dari Rabb yang Maha Suci,
Allah Subhanahu wa Ta'ala. Pendek kata, karena keyakinan yang membuncah
itulah, apapun bisa mereka lakukan demi menunaikan panggilan-Nya. Meski
tidak jarang mereka yang terlantar, terlunta-lunta, hingga menjadi
korban penipuan, pemerasan dan sebagainya.
Andai saja, panggilan
dan kewajiban ini ditunaikan dengan benar, dengan sistem dan hukum yang
benar, tentu kasus-kasus yang selama ini menimpa jamaah haji tidak akan
terjadi. Sistem dan hukum yang melayani, sehingga kewajiban dan
panggilan suci ini bisa diwujudkan dengan baik dan menentramkan hati.
Itulah mengapa, kita membutuhkan sistem dan hukum Islam untuk diterapkan
kembali. Wallahu a'lam.
Makkah, 29 Agustus 2016 M
25 Dzulqa'dah 1437 H
25 Dzulqa'dah 1437 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar