Senin, 26 September 2016

Hijrah Rasulullah SAW dari Mekkah ke Madinah

Setelah baiat aqabah ke-2 ditunaikan, umat Islam di Madinah pun siap menyambut kedatangan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di kota mereka. Jumlah umat Islam di Madinah yang sudah cukup banyak membumbungkan optimisme untuk menjadi Anshar, penolong dan pelindung Rasulullah dan para sahabat Muhajirin. Dan Maha Sempurna Allah dengan segala ketetapan takdir-Nya. Dialah yang menyiapkan kondisi Kota Madinah setelah sebelumnya membekali ketangguhan iman dan mental umat Islam dengan kondisi Mekah yang sulit dan mengancam nyawa. Dialah pula yang menentukan waktu yang tepat bagi Rasul-Nya dan umat Islam untuk memulai fase madani. Allah izinkan Nabi dan para sahabatnya untuk hijrah ke Yatsrib, Madinah al-Munawwarah.

Semua para sahabat yang mampu untuk hijrah, maka wajib bagi mereka berhijrah. Yang lemah dan yang kuat, yang miskin dan yang kaya, laki-laki maupun wanita, dari kalangan merdeka atau hamba sahaya, semua menyambut perintah Allah Ta’ala.


 “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa: 97-100).

Hijrah Bukan Sekedar Berpindah

Saat ini, sebagian umat Islam, ketika mendengar kata hijrah atau peristiwa hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Mekah ke Madinah, menganggapnya sebagai suatu perpindahan biasa, layaknya migrasi penduduk dengan segala kerepotannya. Padahal tidaklah semudah itu. Ini adalah perjuangan yang besar. Bentuk perlawanan terhadap kaum musyrikin Mekah bahkan Jazirah Arab secara umum. Kehilangan nyawa sebuah resiko yang begitu terpapar di depan mata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.

Hijrah bukanlah melarikan diri. Hijrah adalah persiapan membekali diri untuk kehidupan akhirat. Karena itulah, Allah Ta’ala berfirman,

 “Dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, kemudian mereka di bunuh atau mati, benar-benar Allah akan memberikan kepada mereka rezeki yang baik (surga). Dan sesungguhnya Allah adalah sebaik-baik pemberi rezeki. Sesungguhnya Allah akan memasukkan mereka ke dalam suatu tempat (surga) yang mereka menyukainya. Dan sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.” (QS. Al-Hajj: 58-59).

Ditambah lagi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam barulah berhijrah tatkala semua sahabatnya telah berangkat menuju Madinah. Hal ini semakin menguatkan bahwa hijrah bukanlah bentuk melarikan diri. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh lebih mementingkan keselamatan dan keamanan umatnya dibanding keselamatan dirinya. Inilah jiwa seorang pemimpin. Seorang nahkoda bukanlah orang yang pertama meninggalkan kapal saat ia akan karam. Ia akan menjadi yang terakhir keluar setelah memastikan awak dan penumpangnya selamat terlebih dahulu. Tidaklah tersisa di Mekah kecuali Rasulullah, Abu Bakar, dan Ali bin Abi Thalib sebagai orang-orang yang paling akhir menempuh perjalanan.

Ada beberapa hal yang bisa dicermati dari peristiwa hijrah:

Pertama, hijrahnya umat Islam secara menyeluruh terjadi setelah pintu dakwah sudah tertutup di Mekah.

Hijrah ke Madinah bukanlah hijrah yang pertama dialami umat Islam. Sebelumnya sebagian sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menempuh dua kali hijrah ke negeri Habasyah. Kesempatan untuk berdakwah di Mekah begitu kecil atau bahkan tertutup. Mengapa tertutup? Karena orang-orang kafir Quraisy berencana untuk membunuh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah wafatnya paman beliau, Abu Thalib, tiga tahun sebelum hijrah. Saat itulah, strategi hijrah mulai disusun oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sejak mula, dakwah di Mekah memang sudah sulit. Namun Allah Ta’ala tidak memerintahkan Rasul-Nya untuk berhijrah. Hingga akhirnya pintu tersebut mulai dirasa begitu rapat, barulah Allah perintahkan Rasul-Nya dan umat Islam untuk berhijrah. Dari sini kita bisa mengambil pelajaran yang begitu mendalam, ketika pintu dakwah masih terbuka walaupun dirasa sulit, maka kita hendaknya berusaha mengajak orang-orang kepada kebenaran.

Kedua, saat seluruh umat Islam melakukan hijrah, maka Madinah yang dipilih menjadi tujuan bukan Habasyah.

Kota tujuan hijrah bisa saja bukan Kota Madinah jika Bani Syaiban atau Bani Hanifah atau Bani Amir beriman. Namun Allah Ta’ala menginginkan Madinah seabgai tempat hijrah Nabi-Nya. Kultur masyarakat Madinah yang merupakan bangsa Arab, tidak jauh berbeda dengan masyarakat Mekah sehingga para sahabat tidak begitu kesulitan untuk beradaptasi.
Jaminan keamanan di Madinah pun lebih besar dibandingkan di Habasyah. Di Habasyah, hanya An-Najasyi yang beriman, jika ia wafat, maka keselamatan kaum muslimin kembali terancam. Selain itu, terbentuknya negara Islam lebih besar peluangnya di Madinah dibanding Habasyah.

Ketiga, umat Islam diperintahkan menuju tempat yang sama untuk berhijrah.

Dalam syariat hijrah kali ini. Komunitas umat Islam Mekah diperintahkan menuju daerah yang satu bukan dibebaskan menuju daerah manapun yang mereka inginkan. Banyak sekali faidah dari hal ini. Di antaranya kebersamaan dan kekeluargaan tetap terjaga. Keselataman lebih terpelihara dibandikan satu orang menuju satu negeri lainnya. Lebih mudah beradaptasi. Keimanan juga terjaga dengan berkumpulnya mereka dengan orang-orang beriman lainnya. Dll.

Penutup

Inilah sekelumit catatan yang melatar-belakangi hijrahnya Nabi dan para sahabatnya dari Mekah ke Madinah. Sebuah tempat yang belum dikunjungi oleh para sahabat. Negeri yang tidak mereka kenal tabiat penduduknya. Sebuah tempat dimana terdapat komunitas besar Yahudi yang juga belum pernah mereka jumpai. Yang mereka tahu tentang kaum itu hanyalah dari wahyu, bahwa mereka adalah kelompok yang jelek, yang suka menyelisihi para nabi dan rasul Allah. Dan di Madinah yang masih bernama Yatsrib itu pula Yahudi menguasai ekonomi masyarakatnya.

Selain itu, penting kita memahami bahwa setelah Nabi SAW hijrah, maka seluruh penduduk madinah baik kaum muhajirin dan anshor menyerahkan segala urusan mereka yang berkaitan dengan kehidupan sosial dan kemasyarakatan di madinah kepada Nabi Muhammad SAW. Dan ini menunjukan bahwasanya Nabi Muhammad SAW secara real di madinah telah diangkat menjadi penentu segala keputusan dari persoalan-persoalan yang terjadi di madinah, sehingga posisi nabi Muhammad SAW ketika di madinah selain sebagai Nabi dan Rosul, juga sebagai kepala Negara. Dan ini sangat mudah dipahami bagi orang-orang yang menelaah siroh nabawiyah secara mendalam.


Sumber: islamstory.com
(dengan sedikit tambahan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar